Apa yang Harus Dilakukan Saat Dihina?

 







Alhamdulillah, kata itu yang sepatutnya  terucap mengingat bagaimana Allah mengatur hidup kita. Mulai dari memilihkan keluarga, memilihkan siapa sosok ibu dan bapak. Kemudian memilihkan saudara, memilihkan guru, memilihkan teman, dan  ketika Allah memilihkan seorang pasangan terbaik, yang bersamanya, kita mendapatkan keturunan yang saleh dan salehah. 

Jika diawali dengan rida pada ketetapan Allah, terutama untuk hal yang tidak bisa kita memilihnya, hidup ini rasanya nikmat sekali. Rasa puas dan syukur menyusup, memenuhi ruang kalbu. Kemudian darinya hati menjadi yakin, bahwa Allah sudah mengatur sedemikian indah. Jika sudah demikian, maka hati akan membatasi diri untuk ikut-ikutan mengatur apa yang bukan urusan manusia. Tugas kita adalah menerima peran, menikmatinya dan menjalankannya sebaik sebisa mungkin. Tugas yang lain adalah menikmati proses dan terus bersabar menjalankannya. Masalah hasil, biarlah Allah yang menentukan. Allah selalu memiliki pilihan paling baik menilik kondisi dan keadaan yang kita miliki. 

Setelah mencoba beruzlah, menelaah dan berdialog dengan diri sendiri, saya baru tiba pada kesimpulan di atas. Ada saatnya memang rasa kecewa hadir dan membuat kita tidak bersyukur. Hal tersebut jika diteruskan akan sangat bahaya dampaknya, Gus Baha menyampaikan, rasa tidak terima itu jika diteruskan akan menjadikan diri tidak rida dengan ketetapan Allah. Sehingga bisa kehilangan nikmat saat ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, sebisa mungkin hati dididik untuk selalu happy dalam menjalani hidup. Usahakan saat Allah memandang, kita selalu gembira. Bisa tertawa saat keadaan sekitar tampak kurang baik itu adalah keistimewaan tak terhingga. Bahkan ada yang menjadi waliyullah sebab selalu gembira, senang dengan hidup yang dikaruniakan Allah kepadanya. Yang kita bicarakan adalah wali dari Sang Pencipta. Apakah ada cita-cita lain yang lebih tinggi dari itu? 

Pun dalam menghadapi ujian hidup, penting bagi kita untuk meneladani dan mempraktikkan bagaimana para ulama menyampaikan sifat dan sikap baginda Nabi Muhammad Saw., saat beliau diuji. Seperti contoh, saat kita dikomentari pedas oleh orang lain. 

Jika ada ucapan manusia yang kurang merdu didengar, maka biarlah. Selama kita tidak zalim dan tidak menyalahi syariat, maka biarkanlah mereka bersuara sesuka hatinya. Yang mereka suarakan adalah wujud kualitas hati dan pikirannya. Dan tugas kita tetap biasa saja, berbuat baik kepada mereka yang sudah zalim. Kita tidak usah perlu menghinakan diri dengan ikut-ikutan zalim, nauzubillah. Malah lebih baik jika kita mendoakan agar dilembutkan hatinya dan disadarkan. Pun jika memang dizalimi, jangan lupa berdoa kebaikan, sebab salah satu doa yang tidak tertolak adalah doa orang yang dizalimi. 

Hal ini meski mudah sekali diucapkan, namun praktiknya luar biasa sulit. Namun, ketika kita mengingat bahwa berbuat baik karena memang perintah Allah, bukan karena orang itu baik, mungkin kita akan ringan saja melakukannya. Tapi ya itu, kebanyakan manusia suka lupa dibanding ingatnya. Di sinilah letak pentingnya kita saling ingat mengingatkan tentang kebaikan dan amal saleh. 

Jika kita terlalu fokus dengan pendapat manusia, mungkin hasilnya akan sangat melelahkan. Sebagaimana kisah seorang ayah, anak dan seekor keledai. 

Hatta, suatu hari seorang ayah ingin menunjukkan bahwa jika kita menuruti apa kata manusia, maka kita akan hancur sendiri. Demi mendidik anaknya ini, beliau mengajak sang anak berkeliling desa dengan membawa seekor keledai. 

Sang ayah berangkat dari rumah dengan membawa keledai, sang anak diajak berjalan bersama. Tidak lama, ada yang mengomentari perilaku mereka, "Sungguh sia-sia mereka membawa keledai, hanya menuntunnya saja tidak menaikinya. Apa gunanya membawa keledai?" 

Akhirnya, sang ayah menaikkan anaknya di punggung keledai. Dan tidak lama setelah berjalan, ada lagi yang berkomentar, "Sungguh anak yang tidak tahu diri. Ayahnya dibiarkan berjalan sedangkan dirinya naik keledai."

Demi mendapatkan komentar itu, maka sang anak pun turun dan ganti ayahnya yang naik. Kemudian ada yang berkomentar lagi, "Sungguh ayah bagaimana. Anaknya dibiarkan berjalan sedangkan dirinya naik keledai."

Akhirnya, mereka memutuskan untuk naik keledai bersama. Tidak lama kemudian, datanglah komentar lain, "Ayah dan anak yang tidak tahu diri. Keledai sekecil itu dinaiki bersama."

Sampai sini, kisah itu selesai. Sang ayah pun menyampaikan kepada anaknya jika kita mendengar komentar manusia, ditelan mentah-mentah dan dijadikan patokan hidup, kita akan hancur. Pun, sebaik apapun kita akan tetap ada yang membenci. Jangankan kita, kurang baik apa baginda Nabi? Beliau masih dicaci dan dibenci. Bahkan Allah pun yang memiliki jagad semesta, begitu rahman dan rahim masih dihianati. 

Beginilah hidup. Akan terus ada ujian untuk meningkatkan iman kita kepada Allah. Akan tetapi, selama yang menjadi sandaran adalah Allah, maka seluruh problem di dunia hanyalah hal yang sangat kecil, tidak ada apa-apanya. Sebab Gusti Allah yang kita sembah, jauh lebih besar dan kuasa dibanding dengan dunia dan seisinya. 

Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk sebagaimana orang-orang saleh terdahulu mendapatkan petunjuk. Dan semoga, nikmat ibadah yang diberikan Allah tidak dicabut. Mari menjaga diri dari maksiat. Meski mungkin ibadah sunnah belum penuh, asalkan taat dan bersabar untuk tidak maksiat dari-Nya, semoga itu menjadi pintu turunnya rahmat Allah kepada kita semua. Amin. 


Blitar, 22 Februari 2022


Comments

  1. Masyaalloh tabarakalloh.... Sukses selalu zar, smga bermanfaat tulisannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin amin amin. Terima kasih doa indahnya. Begitupun Njenengan. Semoga berkah dan maslahah hidupnya.

      Delete

Post a Comment