Tafakur Malam
Sudah sampai di sini perjalanan ini. Ketika menengok ke belakang, ternyata
perjalanan ini begitu panjang. Sebuah senyuman tiba-tiba terbit di dalam relung
hati. Saya ingin berterimakasih kepada diri sendiri, sebab mampu begitu kuat
memainkan peran ini, menjalani kisah demi kisah yang sudah termaktub di dalam
Lauh al-Mahfuz.
Menyoal tentang itu, apakah saya bahagia? Tentu. Allah selalu memilihkan
jalan terbaik, hal-hal terindah, yang bahkan tidak pernah saya pikirkan
sebelumnya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak bersyukur. Tidak ada
alasan untuk tidak terus memuji Allah Sang Maha pengasih.
Selama dua puluh enam tahun ini, begitu banyak mutiara indah yang saya
temui. Masing-masing dengan keindahannya sendiri, yang corak dan bentuknya
berbeda, berupa hikmah-hikmah hidup yang begitu luar biasa. Allah pernah
mengajak untuk meniti hidup di puncak paling tinggi, Allah juga pernah menguji
di lembah yang paling bawah. Dalam hidup ini, untuk meninggikan derajat dan
kemuliaan seorang hamba, bukankah memang harus diuji terlebih dahulu? Cobaan
dan ujian tidak akan pernah berakhir, sampai di embus napas pengakhiran. Memang
seperti inilah hidup. Dan sebaik-baiknya petunjuk ada pada Alquran dan
assunnah. Sebaik-baiknya kemuliaan adalah mulia di sisi Rabbnya. Tidak ada yang
lebih indah dibanding itu semua.
Di usia ini, kehidupan saya sudah begitu baik. Saya memiliki suami yang
begitu mencintai saya. Bahkan kadang, ketika beliau baru pulang kerja, tengah
malam, mas suami masih sempat mencucikan piring, menyapu, mengepel, mencucikan
baju, memasakkan makanan untuk Zoya, kadang juga menanak nasi. Maka nikmat
manalagi yang hendak saya dustakan? Saya juga sudah dikaruniai titipan, amanah
terbaik-Nya, berupa putri yang cantik, imut dan menggemaskan. Zoya tumbuh
dengan baik. Dia juga tidak pernah merepotkan saya dalam segala sesuatu. Hanya rutinitas
biasa. Selebihnya, Zoya tidak pernah meminta saya untuk terus menggendongnya,
atau dia terus menerus menangis. Tidak pernah. Maka, nikmat manalagi yang
hendak saya dustakan? Selain itu, Allah juga mengaruniakan tempat tinggal
sendiri, tanpa orang tua, tanpa mertua. Tempat tinggal yang lebih dari kata
layak, sebuah rumah yang membuat kami begitu bahagia tinggal di dalamnya dalam
meniti sakinah. Saya juga memiliki pekerjaan yang lumayan, cukup untuk memenuhi
kebutuhan. Segalanya cukup, sangat cukup. Lantas apakah saya masih ingin
sesuatu yang lain? Maka nikmat manalagi yang hendak saya dustakan?
Menyoal tentang hidup, terkadang memang sangat sulit dan merepotkan. Banyak
hal terasa begitu sulit, sebab mungkin, terlalu banyak angan-angan, keinginan
dan kurangnya rasa syukur terhadap apa yang ada. Inilah yang menjadi sumber
kemuraman hati. Hati akan merasa sedih dan risau, ketika ia melupakan betapa
besar rahmat dan karunia yang Allah limpahkan kepada dirinya. Ighfirlana.
Maka, penting untuk terus mengajak hati berbicara. Mengajaknya untuk terus
mengingat, bahwa bisa salat, bisa bersujud, bisa mengingat Allah, jauh lebih
penting daripada lainnya. Pun, salah satu cara mensyukuri nikmat-Nya adalah,
menikmati peran saat ini dengan sebaik-baiknya. Jalan ibadah kepada-Nya
berbeda-beda. Saat ini, jalan saya adalah dengan menjadi ibu dan istri yang
baik. Jika ada waktu luang dan kesempatan, mungkin bisa sedikit menuangkan ilmu
melalui kata. Sebab bagi saya, kata adalah lahan dakwah yang tidak tebatas,
lahan dakwah yang mampu melampaui ruang dan waktu.
Semoga Allah memberikan hidup yang penuh berkah kepada kita semua. Amin.
Tulungagung, 15 Nov. 21
Comments
Post a Comment