Temu

 


“Orang-orang di sini kekurangan gairah dan cinta. Bisakah kehadiranku menjadi penyambung dari kekurangan itu? Meski mungkin singkat, aku tidak ingin kehadiranku yang singkat ini tidak mampu memberikan setitik bekas kebahagiaan.”

~

 

***

Bulan berganti, tahun berlalu. Waktu memang digdaya. Ketika sejenak mata terpejam dan kembali mengingat semua kenang, rasanya seperti mimpi. Ya, mungkin hidup ini memang sebuah mimpi. Sebuah mimpi yang kadang membawa kita tersenyum, kadang menghempaskan kita begitu saja. Banyak kejadian yang tiba-tiba datang tanpa disangka, banyak pertemuan-pertemuan, dan tidak jarang, kita juga dihadirkan oleh perpisahan.

Ah, perpisahan. Mengapa rasanya begitu sesak ketika satu kata itu keluar dari kerongkongan? Apakah perpisahan semenyakitkan itu? Jemariku tiba-tiba berhenti mengetik. Hatiku bergejolak. Air mata memucuk, dan ototku seakan lumpuh. Aku membeku.

Kisah itu, sebuah pengalaman perpisahan memang pernah menjadi alasan terjatuhnya aku dalam hidup. Aku terkurung dalam kubang kedukaan, tidak kurang dari empat tahun. Ketika harapan baru tumbuh, seakan-akan semesta kembali berkonspirasi untuk memasukkanku dalam kubang duka, air mata, dan rindu. Akan tetapi, bukankah ia juga salah satu pelajaran terbaik yang mendidikku? Aku mendapatkan salah satu mutiara terbaik, bahwa sesungguhnya di dunia ini yang ada hanya La ilaaha illallah. Tiada sesuatupun di dunia ini yang ada, kecuali Dia. Aku mafhum. Mungkin Tuhan tidak ingin aku menyembah sesosok hamba melebihiNya.

Dan kini, ketika semua gundah dan resah sepenuhnya kutuang dalam cawan tawakal dan kepasrahan, tiba-tiba Ia mengangkatku tinggi, mengajakku menatap fajar pagi yang rekah. Matahari baru muncul begitu kuning, menghempas seluruh warna putih dan abu yang selama ini mengurungku. Musim dingin pergi, musim semi tiba. Kebekuan yang sebelumnya kuyakini tidak akan pergi, sebelum aku menjumpainya, tiba-tiba leleh. Warna-warni bunga menyambut kehadiranku. Dan tidak kalah, kupu-kupu menari, seperti sedang melakukan persembahan karavan, untuk menyambutku.

Jika semesta sudah seterang ini menyambutku gila-gilaan, apakah aku masih akan terus memilih untuk terpuruk dalam musim beku yang sudah lalu? Jika aku memilih itu, maka sesungguhnya yang sudah tidak waras adalah aku sendiri. Akalku harus sehat. Hidupku harus berlanjut. Meski mungkin, pilihanNya ini tidak seperti dia, mungkin, aku tetap akan menerima. Aku tidak ingin mati, sebelum benar-benar mati. Rugilah Tuhan memberiku napas, jika ternyata tak ada bedanya aku dengan mayat hidup. Kelihatannya berjiwa, namun hakikatnya jiwanya tertawan oleh jiwa yang lain. Bodohnya aku jika masih saja mau memenjarakan diri kepada orang yang jelas-jelas telah melepaskanku.

Pertemuanku dengan pemuda yang terang-terangan ingin menjadi imam dalam hidupku ini tidak disangka. Siapa yang menyangka juga jika jalannya seperti itu. Ketika aku sedang butuh sandaran dan kawan untuk sejenak melupakan masa laluku, yang kuingat, aku membiarkan kaki-kakiku melangkah semaunya. Bahkan aku tidak peduli, jika aku mengambil jalan menuju kehancuran. Kubiarkan hidup mengombang-ambingku dalam gelombangnya. Aku memang memilih untuk bermain-main dengan takdir. Peduli amat dengan hendak jadi apa aku. Aku hanya ingin melihat, bagaimana takdir membawaku. Setelah meninggikanku setinggi-tingginya dengan ‘dia’, kemudian memaksa membetot kehadirannya yang sudah mendarahdaging dalam tubuhku, dan aku tidak memiliki pilihan lain selain menerima, kini, bermain apalagi, duhai takdir?

Sebelum musim semi tiba, yang kujumpa adalah badai. Kelam menggelayut, berhari-hari di langit hati. Niatku memang sekadar bermain-main. Namun hidup malah membawaku kembali kepada jurang nista dan kelam. Tujuanku mengabur. Bunga-bunga harapan layu dan kering. Dalam masa ini, karier yang selama ini kubangun dengan sedemikian megahnya, menunjukkan rapuhnya. Harapan kedua orang tua yang selama ini kokoh dan tinggal melanjutkan, tiba-tiba mengeras. Aku tahu, ada yang tidak beres. Dengan kedigdayaannya, takdir membawaku pada jalan menyimpang, namun ia adalah jalan agar aku sampai pada puncak takdirku. Aku terus berjalan, tidak peduli dengan apa yang menungguku di depan.

“Kalau kamu mau dirimu bebas, putuslah dengannya,” ucapnya. Aku hanya tersenyum. Memang aku sedang dekat dengan seseorang, namun kami tidak pernah menjalin komitmen. Dan pemuda ini, adalah kawannya. Lucu juga rasanya, menjadi aktor dan bermain-main di belakang.

“Kalau kamu sudah sendiri, nanti aku ajak bermain-main ke tempat ini. Pantai di sana sangat indah,” rayunya lagi. Aku tersenyum kembali. Bahkan, orang asing ini ingin seketika mengabulkan permintaanku yang tidak pernah terkabul itu, bermain ke pantai. Bahkan sekadar bermain di pantai saja aku tidak mendapatkannya. Keterlaluan memang. Hubungan toxic ini harus segera kuakhiri. Meski aku tidak bisa lagi menahan perihnya perpisahan, namun mungkin aku lebih tidak bisa jika harus menahan hidup dengan perihnya hubungan tidak sehat.

“Kamu. Kenapa kamu mau mendekatiku?” tanyaku padanya.

“Aku tahu siapa yang saat ini dekat denganmu. Kamu terlalu berharga jika dirusak oleh lelaki seperti dia. Aku tidak bermaksud menjelekkannya. Namun mungkin, kamu memang belum mengenalnya dengan baik.”

“Bukankah kamu temannya?” Aku memang belum tahu siapa dia. Dia hanya sekadar pelampiasan saja bagiku.

“Memang. Tapi aku tidak ingin melihat perempuan sepertimu hancur. Kamu istimewa, meski mungkin kamu tidak menyadarinya.” Sebagai perempuan, mendapatkan gombalan seperti itu membuatku merasa lucu. Selain ‘dia’, lelaki ini adalah lelaki yang menganggapku begitu berharga.

“Lalu, apa saranmu?” tanyaku.

“Selesaikan hubunganmu dengannya, dan lihatlah apa yang sedang menantimu di depan.”

Berani sekali pemuda ini. Tapi kurasa, dia benar. Malam ini juga, aku mengakhiri hubungan tidak jelas ini dengan kawannya.

Tidak serta merta, aku menaruh kepercayaan terhadapnya. Sudah beberapa kali bertemu, bahkan ngobrol. Ketika ngobrol dengannya, rasanya begitu asyik. Pemikirannya sederhana, akan tetapi sebuah kesederhanaan yang bahkan luput dari pemikiranku.

Sejak dahulu, aku memang selalu kagum dengan orang berilmu. Bahkan aku sampai benar-benar memberikan hatiku sepenuhnya kepada ‘dia’, karena dia adalah orang yang pemikirannya jauh di atasku, bahkan jauh di atas orang-orang yang kukenal. Dan pemuda ini, meski kami sebaya, namun aku tidak bisa menganggap pemikirannya rata-rata. Sulit menemukan lelaki yang argumentasinya mampu mengalahkan logikaku. Mungkin aku sombong di sini, namun memang itu penilaianku terhadap kaum Adam yang sering kujumpai. Sedangkan bersama pemuda ini, tiba-tiba nalarku patuh. Aku terbungkam bahkan, dengan argumentasinya yang sederhana. Menarik, itu kesan pertamaku kepadanya.

Pemuda ini tidak kebanyakan teori, sebagaimana kawan-kawan akademisiku, bahkan aktivis-aktivis kampus. Bahasanya sederhana, namun sering membuatku mengernyitkan dahi sebab memikirkan tebakannya, atau bahkan mencerna maksudnya.

Takdir memang gila. Ketika aku bermain di warung kopinya, dengan kawannya dahulu, aku sempat memikirkan, alangkah senangnya menjadi istrinya, pemuda berperawakan tinggi besar ini. Dan sekarang, takdir tiba-tiba mendekatkanku padanya. Pernah juga sekadar membatin, ketika ibunya menghidangkan makanan pesananku, dalam hati, aku membatin, ‘Aku harus menjaga perangaiku. Siapa tahu beliau menjadi ibu mertuaku kelak.’ Dan boom, kini aku benar-benar dekat dengannya. Takdir memang lucu. Sungguh lucu.

Pagi hari ketika aku sudah memutuskan hubungan toxic dengan kawan pemuda yang saat ini dekat denganku, kini aku merasa lebih bebas. Dan, malam harinya, pemuda itu mengajakku kencan. Aku diajak di sebuah kafe dekat kampus, kami mengobrol.

Di sebuah tempat yang cukup terbuka dan berada di tengah, kami memutuskan untuk duduk. Aku tadi diminta untuk membawa selembar kertas dan sebuah pena. Pemuda itu lantas menggambar lingkaran-lingkaran, seperti sebuah grafik. Di dalam lingkaran terbesar di tengah, ia menuliskan, ‘TESIS’.

“Ini adalah target terdekatmu, sebelum kamu mau merambah ke target-target yang lain,” ucapnya. Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Sesudah mendapatkan support eksternal, maka tugasku selanjutnya adalah menciptkan energi positif secara internal. Aku tentu bisa.

“Thank you,” ucapku.

“Dan,”

“Hmmm?”

“Kamu mau menjalin komitmen denganku?” tanyanya yang membuatku membeku seketika.

“Kenapa harus aku?” tanyaku.

“Ibuku menyukaimu, dan ibu memintaku memerjuangkanmu.”

“Apa katanya?”

“Sejak pertama aku melihatmu, aku sudah langsung menyukaimu. Sayangnya posisi kamu tidak sendiri kala itu. Aku pun bercerita kepada ibu, tentang kamu. Ibu menjawab, ‘Kalau kamu menyukainya, perjuangkan sampai dapat. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.’ Dan aku pun berusaha memerjuangkanmu. Meski kamu mengatakan bukan hanya aku yang sedang memerjuangkanmu. Tapi kamu tahu, bahwa aku siap kalah dan aku juga siap jika harus menang.”

Aku terdiam. Hening menyelimuti kami beberapa saat.

“Pilihanku kujatuhkan, kepada seseorang yang memilih untuk memerjuangkanku.” Aku menjawab.

“Hmmm?”

“Terima kasih. Aku memilih kamu, Mas.”

Saat ini, aku sedang dekat dengan dua orang, terlepas dari seseorang yang sudah kubuang namanya dari hatiku. Keduanya aku tes, dengan mengatakan hal jujur, tentang keberadaan masing-masing. Meski bapak sendiri tidak akan pernah setuju jika aku memilih orang yang dekat denganku, satunya, namun aku juga tidak yakin dengannya. Bahkan dia memilih untuk mundur. Pecundang, pikirku. Langsung saja, aku memilih lelaki ini. Toh aku juga sangat nyaman, merasa aman, merasa dihargai, dan hal-hal lain yang sebelumnya hanya dimiliki oleh ‘dia’.

“Kamu serius?” tanyanya. “Aku tidak bergelimpangan materi, tidak ganteng, ...”

“Terus kenapa?” potongku. “Itu semua apakah hal terpenting dalam hidup?” lanjutku.

“Tidak, sih,” jawabnya tersipu.

“Materi bisa dicari, selama kita berjuang. Kamu sudah punya modal ganteng, nanti kalau ada uang, semuanya gampang. Tapi hati, tidak semua orang memiliki hati yang tulus dan mampu memberikan rasa nyaman.”

“Aku akan membuatmu tidak menyesal karena telah memilihku. Terima kasih.” Aku tersenyum dan mengangguk.

Malam itu, aku berpamitan kepada ‘dia’ yang ada di langit.

Aku sudah menemui takdirku, Bi. Di manapun kamu, semoga kebahagiaan juga berlimpah untukmu. Terima kasih sudah menjadi pelindung hatiku selama ini. Kali ini, aku akan benar-benar menutup catatan tentang kisahku denganmu, dan kembali membuka lembar baru, tentang kisahku dengan pemuda pilihanNya. Tugasmu usai. Dan tugasku pun purna. Selamat tinggal.

Jika mungkin Allah memang menjadikan pemuda ini sebagai tokoh dalam kisahku yang termaktub di kitab Lauh al-Mahfuz, maka apa yang bisa dilakukan semesta?

Dan kisah itu pun dimulai. Sebuah kisah dengan akhir yang bahagia.

 

 

 

 

Comments

  1. Replies
    1. Hehe belajar banyak dari Ibu Siti. 🤗🤗
      Terima kasih sudah berkunjung, Ibu.

      Delete

Post a Comment