Berlian Berbungkus Daun Pisang
Saya mulai kisah ini dari secangkir kopi dan langit yang menumpahkan tangisnya. Di hadapanku, masih ada setengah gelas kopi, keripik tela, dan setusuk sate telur puyuh. Di seberangku, duduklah salah satu sahabat terbaikku, Lolly. Kami baru rampung menyelesaikan administrasi kampus terkait penulisan tesis. Setelah rampung, dia mengajakku menengok kantin pojokan di dekat gedung Pascasarjana IAIN Tulungagung. Dan, di sanalah kami.
Gerimis telah hadir ketika aku dan Lolly berangkat dari tempat fotocopy menuju kampus. Saat ini, gerimis pergi, hujan menggantikannya. Sejauh mata memandang, hanya kelabu yang terpandang. Saya membeku, menatap hujan yang semakin deras.
Lolly memesan mie instan dan es teh. Mie nya tinggal satu bungkus saja di warung itu. Saya menyilakan Lolly untuk mengambilnya. Beberapa jam yang lalu, sebelum berangkat ke Tulungagung, saya merasa lapar. Karena di rumah, mudah saja mengambil makanan. Hal yang sangat kontras ketika berada di tempat kos. Hal itu nembuat rasa kenyang masih memenuhi perut.
Waktu berdetak. Kantin semakin ramai oleh mahasiswa yang baru rampung kuliah. Senja terus merangkak. Saya dan Lolly masih di sana, berteduh. Kami mencari bahan obrolan asyik, dan banyak hal yang melintas. Meski kita satu kamar, namun momentum seperti ini sangat jarang. Lolly lupa membawa ponselnya. Untuk merayakan moment ini, saya juga menaruh ponsel saya. Alasannya sederhana, kesempatan untuk terbebas dari kesibukan maya seperti saat itu jarang sekali bisa didapatkan.
Kami mengobrol banyak sekali hal, hingga waktu yang berlarian mengantar kita menuju petang. Hujan masih menumpah ruah. Namun kantin itu semakin ramai.
Dari beberapa mahasiswa, tampak seorang laki-laki sepuh bermantel memasuki kantin. Dari sekian tempat duduk, beliau memilih duduk di samping saya tepat. Kebetulan memang kursi di sebelah saya kosong. Beliau pun meminta izin.
"Permisi, Mbak. Saya pakai, ya?"
"Oh, iya silakan, Bapak," jawab saya.
Saya dengan Lolly sedang berada dalam obrolan asyik dan sedikit serius. Kami saling berbagi target dalam 2019 ini. Kami sedang membicarakan impian dan rencana masa depan, serta realisasi saat ini untuk menggapainya.
Hati saya merasa ngilu ketika melihat bapak di sebelah saya menikmati kopinya sendiri di tengah deru mahasiswa. Mereka seperti aku dan Lolly, sedang sibuk dengan dunia sendiri, pun acuh terhadap beliau. Penampilan beliau memang tidak meyakinkan. Beliau menggunakan celana kain, digulung. Kakinya tanpa alas, karena hujan. Bajunya masih berbalut mantel hujan. Rambutnya telah memutih. Kerutan di wajah beliau menandakan betapa banyak jalan dan waktu yang telah beliau kunyah.
Ketika percakapan antara Lolly dan saya menemui jeda, saya sepintas teringat pesan yang berisi tantangan dari seseorang.
"Sampean pernah tidak menyapa dan mengajak ngobrol orang-orang yang sebagian besar manusia menganggap mereka kecil?"
"Siapa? OB kampus, misalnya?"
"Iya, bisa. Pernah?"
"Aku hanya bisa memberikan senyuman. Karena momentumnya tidak tepat."
"Maksudnya?"
"Kan tidak mungkin aku berhenti dari motor atau ketika berjalan tiba-tiba berhenti, kemudian mengganggu kerja mereka ngajak ngobrol begitu? Aku belum punya kesempatan untuk itu," jawab saya.
Percakapan itu mencubit saya. Seketika, saya membuka obrolan.
"Bapak, dari mana asal Bapak jika boleh tahu?"
"Saya dekat sini, Mbak. Di Rejoagung," jawab beliau renyah. Wajahnya ceria dan ramah.
"Oh, di daerah dekat situ, ya Bapak?" responsku meyakinkan.
"Iya, benar, Mbak. Mbak kuliah di sini?" tanya beliau.
"Iya, Bapak. Kami masih kuliah di sini. Sedang merampungkan tesis. Mohon doa dari Bapak," jawab saya.
"Semester empat berarti ya?"
"Benar, Bapak. Bapak juga kerja di sini?"
"Iya, Mbak. Saya cleaning service di sini. Sama staff," jawab beliau.
"Oh, begitu, iya Bapak," responsku.
"Mbak jurusan apa?"
"Saya Tadris Bahasa Inggris, Pak."
"Mbak satunya juga?"
"Iya, Bapak. Seangkatan," kata Lolly.
"Where are you from?" tanya beliau. Saya terhenyak.
"Bapak bisa bahasa Inggris?"
"A little," jawab beliau.
"Not much," tambah beliau.
"Wow, it's totally cool!" pekik saya.
"Where are you from? Begitu, kan Mbak tanyanya?" imbuh beliau.
"I am so amazed of you, Sir. Well, I am from Blitar."
"Are you go to Blitar Tulungagung everyday? Emmm, not using are, tapi, do you begitu ya Mbak?" ungkap beliau yang semakin membuat saya membatu.
"Yes, it uses 'do', Bapak."
"Simple Present Tense begitu, ya? Do you go to Blitar and Tulungagung everyday?"
Rasa ingin tahu saya seakan digelitik. Bagaimana bisa beliau mengucap bahasa Inggris selancar itu?
"Wait, Sir. When did you learn English?"
"Apa?" tanya beliau memastikan.
"Learning English, when?"
"Saya belajar dari SMP, high school."
"Kok bisa masih ingat, Pak?" ungkap saya tidak percaya.
"Yes, because I am learning it."
"Wow, since when?"
"Since, mmm, forty years ago."
"It's FORTY?!" Pekik saya.
"Yes," jawab beliau.
"How can? Really. Bapak beneran cleaning service di sini?"
"Iya, Mbak. Saya ini orang kecil. Beda dengan sampean dan mereka yang berpendidikan tinggi.
"Masyaallah, you're totally cool, Bapak."
"No, saya orang rendah."
"Bapak merendah saja."
"Memang begitu adanya, Mbak. Hanya 160 saya."
"Wkwkwk. Saya malah 156 Pak," ujar saya. Beliau mencoba mencairkan suasana.
Kami sudah saling mengenal. Atmosfer di kantin menjadi cair antara Bapak itu dan kami. Masih dengan bahasa Inggris, beliau menyampaikan perbedaan bahasa Inggris American, British dan Australian. Saya terpaku. Bagaimana bisa beliau tahu? Saya mengamini sebab di S1 dahulu pernah dijelaskan oleh Mom Arina, salah satu dosen di kampus.
Percakapan kami mengarah kepada pembahasan filsafat. Beliau menyebut nama Socrates, Thales, Plato, Aristotle, Ibnu Sina, Al Kindi dan beberapa filsuf lainnya. Saya memancing pendapat beliau tentang 'Marx'.
"Karl Marx?" respons beliau cepat.
"Bapak tahu Marxisme???" Saya terhenyak.
"Bapak sosialis dunia, komunis," jawab beliau.
Dengan asyik, beliau menjabarkan tentang pengaruh Marx, pemikirannya, dan juga mengarah kepada Stalin, Lenin serta Tiongkok. Saya menggeleng kepala.
"How do you know?"
"I love history."
"Me too. I love it. Bapak suka membaca?"
"Ya, benar."
"Pasti bukunya banyak."
"Tidak, Mbak. Gaji cleaning service saja seberapa Mbak. Tapi, alhamdulillah. Terpenting berkah Mbak semoga. Jadi hanya pinjam teman sajayang bukunya," papar beliau.
"Bapak ini benar-benar ya, sangat luar biasa," takjub saya.
"Saya biasa di luar Mbak," katanya.
"Wkwkwk."
Kami bertiga tenggelam dalam percakapan yang seru. Kami berdiskusi banyak sekali hal. Bahkan masuk pula pada studi Alquran, teologi, ilmu kalam, psikologi, praktik sosial dan praktik bertuhan. Pribadi beliau ramah dan asyik. Kata beliau, 'jika diri mau bersyukur, hal itu akan membuat kita bahagia. Jika bahagia detak jantung teratur, tekanan darah normal, badan bugar, bisa mengajak wajah berekspresi ceria, senyum dan ramah. Raut wajah adalah representasi hati kita.' Saya benar-benar terkagum.
"Tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa izin-Nya. Termasuk persuaan kali ini," ujar beliau.
"Mbak, begini. Jika ada empat orang, kita masuk di dalamnya, maka ketiga orang yang lain adalah gurunya."
"Semua orang adalah guru kita."
Waktu terus berlari. Jarum jam menunjuk pada pukul 19.30 WIB. Beliau akhirnya harus berpamitan. Tidak ada penghuni lain di kantin kecuali si Bapak, Lolly, ibu kantin, bapak kantin dan saya. Beliau berpamitan, saya dan Lolita juga berpamitan.
Masih terasa kekaguman saya kepada beliau. Saya mengaminkan pernyataan salah satu teman tentang mereka yang sering dipandang rendah. Di balik cover beliau, nyatanya Bapak Suprapto, nama beliau, ternyata menyimpan berlian yang begitu berkilau. Saya benar-benar bersyukur bisa belajar dari beliau. Semoga lain kesempatan bisa bersilaturahmi kepada beliau.
Sebelum menutup catatan ini, Bapak Suprapto juga sempat menyampaikan motto dalam hidup beliau, yakni: "Berpikir cerdas, bicara lugas, bertindak tegas. berpikir kritis, bertindak etis. Singkat, namun mendalam."
Begitulah. Momen hari ini sangat sayang dilewatkan. Saya memang belum tahu benar siapa sebenarnya sosok Bapak Suprapto. Namun ketika di tempat parkir tadi tampak beliau sedang mengobrol dengan Bapak wakil direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung. Entahlah. Mungkin suatu saat, saya akan mencoba memvalidasi tentang beliau. Terpenting, saya bisa meraup beberapa poin istimewa.
Pertama, tentu pakaian tidak bisa digunakan sebuah tolak ukur mutlak untuk membedakan seseorang yang bernilai ataupun tidak. Kedua, menjadi peka, ramah dan peduli terhadap lingkungan, sekitar, dan sosial merupakan sebuah hal yang patut diperhatikan. Dengan kadarnya, tentu saja. Ketiga, belajar bisa dilakukan di mana saja, dengan siapa saja. Tinggal kita memilih untuk mau atau tidak. Keempat, menjadi rendah hati adalah sebuah pilihan yang sangat mulia.
Sekian saja catatan kali ini. Semoga memberikan ruang untuk menyerna dan menikmati salah satu lembar kisah dari-Nya.
Blitar, 06 Maret 2019
Gerimis telah hadir ketika aku dan Lolly berangkat dari tempat fotocopy menuju kampus. Saat ini, gerimis pergi, hujan menggantikannya. Sejauh mata memandang, hanya kelabu yang terpandang. Saya membeku, menatap hujan yang semakin deras.
Lolly memesan mie instan dan es teh. Mie nya tinggal satu bungkus saja di warung itu. Saya menyilakan Lolly untuk mengambilnya. Beberapa jam yang lalu, sebelum berangkat ke Tulungagung, saya merasa lapar. Karena di rumah, mudah saja mengambil makanan. Hal yang sangat kontras ketika berada di tempat kos. Hal itu nembuat rasa kenyang masih memenuhi perut.
Waktu berdetak. Kantin semakin ramai oleh mahasiswa yang baru rampung kuliah. Senja terus merangkak. Saya dan Lolly masih di sana, berteduh. Kami mencari bahan obrolan asyik, dan banyak hal yang melintas. Meski kita satu kamar, namun momentum seperti ini sangat jarang. Lolly lupa membawa ponselnya. Untuk merayakan moment ini, saya juga menaruh ponsel saya. Alasannya sederhana, kesempatan untuk terbebas dari kesibukan maya seperti saat itu jarang sekali bisa didapatkan.
Kami mengobrol banyak sekali hal, hingga waktu yang berlarian mengantar kita menuju petang. Hujan masih menumpah ruah. Namun kantin itu semakin ramai.
Dari beberapa mahasiswa, tampak seorang laki-laki sepuh bermantel memasuki kantin. Dari sekian tempat duduk, beliau memilih duduk di samping saya tepat. Kebetulan memang kursi di sebelah saya kosong. Beliau pun meminta izin.
"Permisi, Mbak. Saya pakai, ya?"
"Oh, iya silakan, Bapak," jawab saya.
Saya dengan Lolly sedang berada dalam obrolan asyik dan sedikit serius. Kami saling berbagi target dalam 2019 ini. Kami sedang membicarakan impian dan rencana masa depan, serta realisasi saat ini untuk menggapainya.
Hati saya merasa ngilu ketika melihat bapak di sebelah saya menikmati kopinya sendiri di tengah deru mahasiswa. Mereka seperti aku dan Lolly, sedang sibuk dengan dunia sendiri, pun acuh terhadap beliau. Penampilan beliau memang tidak meyakinkan. Beliau menggunakan celana kain, digulung. Kakinya tanpa alas, karena hujan. Bajunya masih berbalut mantel hujan. Rambutnya telah memutih. Kerutan di wajah beliau menandakan betapa banyak jalan dan waktu yang telah beliau kunyah.
Ketika percakapan antara Lolly dan saya menemui jeda, saya sepintas teringat pesan yang berisi tantangan dari seseorang.
"Sampean pernah tidak menyapa dan mengajak ngobrol orang-orang yang sebagian besar manusia menganggap mereka kecil?"
"Siapa? OB kampus, misalnya?"
"Iya, bisa. Pernah?"
"Aku hanya bisa memberikan senyuman. Karena momentumnya tidak tepat."
"Maksudnya?"
"Kan tidak mungkin aku berhenti dari motor atau ketika berjalan tiba-tiba berhenti, kemudian mengganggu kerja mereka ngajak ngobrol begitu? Aku belum punya kesempatan untuk itu," jawab saya.
Percakapan itu mencubit saya. Seketika, saya membuka obrolan.
"Bapak, dari mana asal Bapak jika boleh tahu?"
"Saya dekat sini, Mbak. Di Rejoagung," jawab beliau renyah. Wajahnya ceria dan ramah.
"Oh, di daerah dekat situ, ya Bapak?" responsku meyakinkan.
"Iya, benar, Mbak. Mbak kuliah di sini?" tanya beliau.
"Iya, Bapak. Kami masih kuliah di sini. Sedang merampungkan tesis. Mohon doa dari Bapak," jawab saya.
"Semester empat berarti ya?"
"Benar, Bapak. Bapak juga kerja di sini?"
"Iya, Mbak. Saya cleaning service di sini. Sama staff," jawab beliau.
"Oh, begitu, iya Bapak," responsku.
"Mbak jurusan apa?"
"Saya Tadris Bahasa Inggris, Pak."
"Mbak satunya juga?"
"Iya, Bapak. Seangkatan," kata Lolly.
"Where are you from?" tanya beliau. Saya terhenyak.
"Bapak bisa bahasa Inggris?"
"A little," jawab beliau.
"Not much," tambah beliau.
"Wow, it's totally cool!" pekik saya.
"Where are you from? Begitu, kan Mbak tanyanya?" imbuh beliau.
"I am so amazed of you, Sir. Well, I am from Blitar."
"Are you go to Blitar Tulungagung everyday? Emmm, not using are, tapi, do you begitu ya Mbak?" ungkap beliau yang semakin membuat saya membatu.
"Yes, it uses 'do', Bapak."
"Simple Present Tense begitu, ya? Do you go to Blitar and Tulungagung everyday?"
Rasa ingin tahu saya seakan digelitik. Bagaimana bisa beliau mengucap bahasa Inggris selancar itu?
"Wait, Sir. When did you learn English?"
"Apa?" tanya beliau memastikan.
"Learning English, when?"
"Saya belajar dari SMP, high school."
"Kok bisa masih ingat, Pak?" ungkap saya tidak percaya.
"Yes, because I am learning it."
"Wow, since when?"
"Since, mmm, forty years ago."
"It's FORTY?!" Pekik saya.
"Yes," jawab beliau.
"How can? Really. Bapak beneran cleaning service di sini?"
"Iya, Mbak. Saya ini orang kecil. Beda dengan sampean dan mereka yang berpendidikan tinggi.
"Masyaallah, you're totally cool, Bapak."
"No, saya orang rendah."
"Bapak merendah saja."
"Memang begitu adanya, Mbak. Hanya 160 saya."
"Wkwkwk. Saya malah 156 Pak," ujar saya. Beliau mencoba mencairkan suasana.
Kami sudah saling mengenal. Atmosfer di kantin menjadi cair antara Bapak itu dan kami. Masih dengan bahasa Inggris, beliau menyampaikan perbedaan bahasa Inggris American, British dan Australian. Saya terpaku. Bagaimana bisa beliau tahu? Saya mengamini sebab di S1 dahulu pernah dijelaskan oleh Mom Arina, salah satu dosen di kampus.
Percakapan kami mengarah kepada pembahasan filsafat. Beliau menyebut nama Socrates, Thales, Plato, Aristotle, Ibnu Sina, Al Kindi dan beberapa filsuf lainnya. Saya memancing pendapat beliau tentang 'Marx'.
"Karl Marx?" respons beliau cepat.
"Bapak tahu Marxisme???" Saya terhenyak.
"Bapak sosialis dunia, komunis," jawab beliau.
Dengan asyik, beliau menjabarkan tentang pengaruh Marx, pemikirannya, dan juga mengarah kepada Stalin, Lenin serta Tiongkok. Saya menggeleng kepala.
"How do you know?"
"I love history."
"Me too. I love it. Bapak suka membaca?"
"Ya, benar."
"Pasti bukunya banyak."
"Tidak, Mbak. Gaji cleaning service saja seberapa Mbak. Tapi, alhamdulillah. Terpenting berkah Mbak semoga. Jadi hanya pinjam teman sajayang bukunya," papar beliau.
"Bapak ini benar-benar ya, sangat luar biasa," takjub saya.
"Saya biasa di luar Mbak," katanya.
"Wkwkwk."
Kami bertiga tenggelam dalam percakapan yang seru. Kami berdiskusi banyak sekali hal. Bahkan masuk pula pada studi Alquran, teologi, ilmu kalam, psikologi, praktik sosial dan praktik bertuhan. Pribadi beliau ramah dan asyik. Kata beliau, 'jika diri mau bersyukur, hal itu akan membuat kita bahagia. Jika bahagia detak jantung teratur, tekanan darah normal, badan bugar, bisa mengajak wajah berekspresi ceria, senyum dan ramah. Raut wajah adalah representasi hati kita.' Saya benar-benar terkagum.
"Tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa izin-Nya. Termasuk persuaan kali ini," ujar beliau.
"Mbak, begini. Jika ada empat orang, kita masuk di dalamnya, maka ketiga orang yang lain adalah gurunya."
"Semua orang adalah guru kita."
Waktu terus berlari. Jarum jam menunjuk pada pukul 19.30 WIB. Beliau akhirnya harus berpamitan. Tidak ada penghuni lain di kantin kecuali si Bapak, Lolly, ibu kantin, bapak kantin dan saya. Beliau berpamitan, saya dan Lolita juga berpamitan.
Masih terasa kekaguman saya kepada beliau. Saya mengaminkan pernyataan salah satu teman tentang mereka yang sering dipandang rendah. Di balik cover beliau, nyatanya Bapak Suprapto, nama beliau, ternyata menyimpan berlian yang begitu berkilau. Saya benar-benar bersyukur bisa belajar dari beliau. Semoga lain kesempatan bisa bersilaturahmi kepada beliau.
Sebelum menutup catatan ini, Bapak Suprapto juga sempat menyampaikan motto dalam hidup beliau, yakni: "Berpikir cerdas, bicara lugas, bertindak tegas. berpikir kritis, bertindak etis. Singkat, namun mendalam."
Begitulah. Momen hari ini sangat sayang dilewatkan. Saya memang belum tahu benar siapa sebenarnya sosok Bapak Suprapto. Namun ketika di tempat parkir tadi tampak beliau sedang mengobrol dengan Bapak wakil direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung. Entahlah. Mungkin suatu saat, saya akan mencoba memvalidasi tentang beliau. Terpenting, saya bisa meraup beberapa poin istimewa.
Pertama, tentu pakaian tidak bisa digunakan sebuah tolak ukur mutlak untuk membedakan seseorang yang bernilai ataupun tidak. Kedua, menjadi peka, ramah dan peduli terhadap lingkungan, sekitar, dan sosial merupakan sebuah hal yang patut diperhatikan. Dengan kadarnya, tentu saja. Ketiga, belajar bisa dilakukan di mana saja, dengan siapa saja. Tinggal kita memilih untuk mau atau tidak. Keempat, menjadi rendah hati adalah sebuah pilihan yang sangat mulia.
Sekian saja catatan kali ini. Semoga memberikan ruang untuk menyerna dan menikmati salah satu lembar kisah dari-Nya.
Blitar, 06 Maret 2019
Hujan...
ReplyDeleteMengisahkan barisan aksara, menari dan mengikuti muaranya.
Bukan hanya sajak yang berbalut kisah, namun tempat berbagi suka dan duka.
Deraian tangis dari langit, mengisahkan sejarah yang menghempas masuk berliku disetiap dimensi.
Bukan tentang masa lalu, namun tentang harapan dimasa depan...
Begitulah kisah itu terbalut...
Terima kasih sajaknya, beb Lol
ReplyDelete