Aku (Tidak) Meratap

 

Taken from https://faktualnews.co/2020/12/31/jam-malam-diberlakukan-malam-tahun-baru-di-jalanan-kota-blitar-lengang/249132/

Lampu kota berkedip-kedip kuning. Dinginnya malam menembus, menusuk tulang. Saat ini, Blitar lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Tapi, dengan kaos lengan panjang tipis, berbalut jilbab instan, dan wajah tanpa riasan, aku menembus kota Blitar. Blitar di tengah malam seperti kota yang sedang tertidur. Sesekali, bunyi tawa pelanggan yang duduk di atas trotoar beralaskan tikar, meneguk kopi dari angkringan keliling terdengar. Suaranya tertiup angin. Jarang motor dan mobil melaju, jarang sekali, hanya satu atau dua yang berpapasan.

Aku menarik gasku semakin kencang. Mataku rabun. Kacamataku berembun. Dadaku sesak. Badanku panas dingin. Nyawaku seperti sedang melayang. Jika satu-satunya alasan aku tidak memikirkan putriku, aku pasti sangat rela jika malam ini menjadi malam terakhirku menghirup napas.

Air mata terus mengalir. Masker yang kukenakan telah basah. Aku melaju tanpa tujuan, tanpa arah. Namun logikaku masih bekerja. Aku tidak berani menyusuri gang-gang sempit dan sepi di kota. Aku memilih menyusuri jalanan besar.

Rasanya sulit. Aku berduka. Seluruh tubuh dan jiwaku berduka. Malam ini, tidak akan pernah aku lupakan dalam sejarah hidupku. Rasa ini, rasa sakit ini, akan membuatku selalu ingat, bahwa aku sudah di ujung kematianku. Aku tidak meratap, hanya menunjukkan kepada diriku, bahwa luka yang parah, pernah membuatku berdarah. Bahkan, seluruh tulang dan akalku remuk, penuh nanah. Aku tidak meratap. Hanya aku menikmati rasa sakit yang singgah. Sebab Tuhan pernah menitipkan rasa separah itu, untuk membantuku tumbuh dan liat ke depan. Aku sudah pernah mengalami rasa sesakit itu, se-mematikan itu. Maka dari itu, orang lain tidak berhak mendapatkan tempat istimewa untuk bisa menyakiti hati ini.

Allah sudah berikan aku kekuatan, berikan aku kesempatan untuk hidup kembali, menenggak oksigen setelah tiba-tiba paru-paruku hancur. Maka dari itu, luka ini tidak seharusnya menyakitiku, namun aku nikmati rasanya. Sakit itu nikmat, bukan?

Puan, siapapun orang yang hatinya kotor, bertindak semena-mena hanya untuk menjatuhkan orang lain, ia akan terjatuh sendiri. Selama ini, bukankah semesta melakukan itu? Yang pernah menjatuhkan orang yang tidak bersalah, akan terjatuh. Dan derajat yang baik akan ditinggikan. Pilihlah sabar, dan biarlah Tuhan bekerja. Itu ranah-Nya, bukan ranahmu. Ranahmu adalah bersabar. Puan, kau tidak perlu mengotori tanganmu dengan melakukan hal yang sama. Biarlah Tuhan yang bekerja dengan semua kuasa-Nya. Hidup hanya tentang menanam dan memetik. Jika duri yang ditabur, bagaimana mungkin akan bersemi menjadi bunga yang indah dan harum? Jika biji bunga yang ditabur, bagaimana mungkin akan tumbuh duri? Jika pun ada manipulasi manusia, yang wangi akan tetap wangi, dan yang busuk akan tetap busuk sebanyak apapun wewangian yang dipaksakan. Bersabarlah. Pahala sabar akan kau bawa pulang ke kampung akhirat. Semua ini akan berlalu. Semua akan berlalu. Pilihlah sabar, Puan.

 

Comments

Post a Comment