Bercermin Melalui Kata
Sudah tanggal 06 Maret 2024. Beberapa hari
lagi, saya akan resmi menginjak usia ke 29 tahun. Tidak menyangka sebelumnya,
jika saya bisa tiba di usia itu. Sebab sakit, saya pernah menjadi penganut pesimisme
yang akut. Saya merasa sudah tidak memiliki harapan untuk hidup, atau kematian
seperti senantiasa datang mengintai. Terlebih, ketika saya dibius total, dan
entah bisa kembali hidup atau tidak, berjuang di ruang operasi. Padahal, sebenarnya
penyakit saya ya penyakit yang tingkat sembuhnya tinggi, yakni Fibroadenoma Mammae,
tumor jinak. Biidznillah, benjolan tersebut sudah diambil dan selesai sudah.
Hanya saja, karena badan yang rasanya ah, masyaallah, semua ibu pasti tahu, saya
menjadi sering kembali menjadi penganut pesimisme. Bahkan, saya sudah membuat
surat wasiat, meminta papa menikah lagi jika saya wafat, meminta beliau
memastikan bahwa perempuan yang akan menggantikan peran saya, harus bisa
mencintai Zoya sepenuh hati. Kata papa, mama kalau kumat, sungguh konyol. Dan
beliau, memilih untuk tidur tidak mendengarkan ocehan saya. Terkadang, beliau
menyumpal mulut saya agar tidak berkata sesuatu yang bagi papa, tidak jelas
sama sekali.
Saya sering menertawakan diri sendiri saat
sudah kembali waras. Terkadang, saat tenggelam di dalam samudera perasaan
ternyata sebegitu mengerikan. Alhasil, agar bisa imbang antara hidup saat ini
dan bidikan ke depan, saya harus terus mengajak diri untuk beruzlah, menyendiri
untuk muhasabah.
Menjadi ibu ternyata memang tidak mudah.
Saya senang sekali memiliki putri yang sebentar lagi akan menginjak usia tiga
tahun. Dia semakin mandiri, pintar, bisa diajak negosiasi, dan pengertian. Jika
saat usia dua tahunan awal kemarin, nduk lebih suka menghabiskan waktu bersama
uti, tante, kakung, dan om di rumah ibuk. Sekarang, setelah diantar ke rumah
ibuk, lima menit kemudian ia pulang, memastikan mamanya di rumah dan baik-baik
saja. Saya senang, sekaligus sedih. Senang karena putri saya sudah tahu betul
mamanya, ingin menemani mama, dan saya menjadi tempat ternyamannya. Sedih
karena terkadang, saya tidak memiliki me time, sehingga saat
uring-uringan, saya kurang bisa kontrol diri, meski benar-benar saya tahan
sewaras mungkin agar tidak menyakiti nduk, apalagi membentak. Sebab, menurut
informasi yang saya terima, entah saya belum menguji validasi informasi
tersebut, sekali anak mendapatkan bentakan, maka milyaran sel otaknya akan
mati. Benar atau tidak, membentak tentu menimbulkan perkara yang negatif
untuknya. Oleh karena itu, saya benar-benar berusaha mengontrol diri untuk
tidak kelepasan. Selebihnya, saya meminta izin untuk menjauh sebentar untuk
meredakan emosi yang memuncak. Setelah reda, baru saya terangkan kepada nduk.
Namun, untuk tiba di fase itu, membutuhkan kontrol emosi yang terlatih. Walau
demikian, tidak ada perkara yang tidak mungkin. Terlebih, emosi kita dalam
kuasa kita. Jadi, I control me, pasti bisa.
Saat benar-benar lelah, saya menyampaikan
kepada mas suami. Beliau selalu membalas dengan kata maaf, karena tidak bisa
membantu saya mengasuh Zoya. Saya pun menyampaikan kepada beliau. Jika saya
mengomel, cukup direspons, ditanggapi dan didengarkan. Saya hanya butuh itu, bukan
yang lain. Mas pun juga berjuang tidak mengenal panas, hujan, siang, malam
untuk mencukupi kebutuhan kami. Bahkan saat ini, hidup kami sudah sangat baik, alhamdulillah.
Untuk menghibur saya yang jauh dari beliau, mas memang berusaha untuk menuruti
pinta saya. Selama dalam gapaian beliau, beliau pasti mengabulkan. Bahkan, mas
lebih mengutamakan saya dan nduk dibanding dirinya sendiri. Contoh saja baju.
Berapa potong baju yang beliau miliki, dibanding dengan baju saya yang memenuhi
dua lemari. Itu pun hampir semua baru, sebab yang lama sudah tidak cukup dan
sudah tidak kami simpan lagi. Kemudian Sepatu. Karena saya kerja, otomatis
memerhatikan fashion. Dengan sifat saya, mana mungkin saya mau satu model saja,
harus memiliki berbagai model mulai boots, high heels, sneakers, sampai flat
shoes. Kemudian jilbab. Karena sudah mengenal kenyamanan jilbab premium, saya
jadi lebih memilih menabung dan membeli jilbab premium yang set, tegak, nyaman
dipakai. Belum lagi tas, dan lainnya yang tidak akan pernah habis. Belum juga
nduk. Tiba-tiba saat pulang, papa membawakan mainan satu keranjang besar dengan
aneka mainan yang bisa menjadi hiburan untuk putrinya dan membantu istrinya.
Belum sepatu, tas, baju dan pernak-pernik bayi lainnya. Papa mengutamakan saya
dan nduk di atas kepentingan beliau. Dengan hadirnya beliau, sesungguhnya lelah
saya sedikit banyak terobati.
Akan tetapi, to err is human. Dengan
semua kelelahan itu, tetap tidak membuat saya lepas dari yang namanya mengeluh.
Syukurlah kita ini memiliki tempat terbaik untuk mengadukan seluruh keluh dan
peluh, yakni kepada-Nya.
Meski melelahkan, tapi Allah tahu, bahu
ini sudah disetel kuat. Meski kadang membuat menangis, Allah sudah tahu, dan
selalu ada sebagai sandaran terbaik. Meski sering terlupa, Allah dengan
maghfirah-Nya akan menuntun kembali hamba-Nya yang tersesat, menjauh dari cahaya-Nya. Meski
hidup memang penuh ujian, semoga tidak lupa ayat ini,
Fainna ma’al ‘usyri yusraa
Inna ma’al ‘usyri yusraa
Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.
Bersama kesulitan ada kemudahan.
Blitar, 06 Maret 2024
Comments
Post a Comment