Sang Guru dalam Proyek Peradaban



Ekka Zahra Puspita Dewi

 

Peran guru dalam memajukan bangsa tidak perlu diragukan lagi. Bahkan tersohor kisah pemerintah Jepang yang baru saja mendapatkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 06 dan 09 Agustus 1945 silam, yang ditanya pertama kali adalah, ‘Berapa jumlah guru yang masih hidup?’ Hal tersebut dilakukan lantaran sebuah bangsa tidak mungkin bisa menjadi besar tanpa ada kemajuan dalam sektor pendidikan. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan peran guru yang mendidik pengetahuan, karakter serta moral pada anak didiknya. Sedangkan anak didik itu, suatu masa akan menjadi pemimpin di negerinya. Oleh karenanya, untuk memajukan sebuah bangsa, dibutuhkan pendidikan yang baik, serta guru yang kompeten. Tanpa pendidikan yang baik, rasa-rasanya sangat musykil sebuah bangsa memiliki kemajuan yang signifikan.

Menilik peran guru yang sangat mempengaruhi hasil akhir produk pendidikan kita, yakni pengetahuan, kemampuan serta moral anak bangsa, pemerintah sudah sangat aktif memberikan beragam cara demi meningkatkan kualitas guru, yang mengarah kepada meningkatnya kualitas pendidikan. Kita tidak akan membahas program-program pemerintah dalam artikel ini. Akan tetapi, kita akan lebih mengarah kepada bagaimana menjadi guru yang baik bagi anak didik.

Sebuah penelitian yang ditulis oleh Habibur Rohman (2022) memberikan sebuah wacana dan gebrakan baru, yakni mengenalkan matematika dengan konsep Compassion. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, compassion bermakna kasih sayang. Bagaimana relasi antara kasih sayang dengan matematika? Sebelum membahas itu, kita akan mencoba menelaah kasus ini. Saya pernah membaca sebuah Tweet yang ditulis oleh salah satu pendidik dari Barat. Beliau menyampaikan bagaimana caranya agar murid-murid menghormati kita sebagai guru? Jawaban beliau, hormatilah mereka terlebih dahulu. Pada intinya, sebagai seorang guru dan pendidik, mari kita memberikan contoh dengan memberi terlebih dahulu, bukan langsung mengharap menerima. Misalnya bersikap respek terhadap siswa. Hal yang kurang baik mungkin ketika kita enggan menghormati orang lain─termasuk murid kita sendiri─kemudian kita menuntut untuk dihormati.

Dari case di atas, bisa didapati bahwa dalam dunia pendidikan, terutama kita para guru yang bersinggungan dengan murid membutuhkan pengetahuan tentang psikologi anak. Dengan memahami kebutuhan, sikap dan dan perilaku anak, akan memudahkan kita untuk masuk ke dalam dunianya, kemudian mengajak mereka belajar tanpa beban─subconscious learning. Sebab, anak akan mencari kenyamanan terlebih dahulu terhadap gurunya, baru kemudian mereka mungkin akan suka terhadap materi yang diajarkan.

Salah satu penelitian dari Barat yang membahas tentang matematika, menunjukkan bahwa banyak sekali anak yang memiliki traumatis dengan matematika. Kebanyakan traumanya disebabkan oleh bagaimana treatment guru atau orang tua terhadap mereka karena kurang bisa memahami matematika. Ada yang dimarahi, dipermalukan bahkan yang lebih abusive, menerima pukulan karena tidak bisa mengerjakan matematika. Otomatis, jika perlakuan seperti itu yang didapatkan, hal itu akan membuat anak semakin membenci matematika. Lantas bagaimana menghadapinya?

Guru akhirnya diajak untuk mengikuti kelas konselor, yang memberikan perhatian, memberikan ruang kepada anak, memberikan apresiasi dan tidak memberikan judgement sepihak ketika anak salah dalam mengerjakan soal. Hal tersebut ternyata mampu meredam emosi anak. Pun, di luar lingkungan sekolah, peran orang tua juga mempengaruhi psikis anak. Dengan kerja sama yang baik, anak yang memiliki problem dengan matematika akhirnya mampu selesai.

Kasus di atas dapat juga dianalogikan pada pelajaran lain. Misalnya, mungkin bahasa Inggris atau lainnya. Jika boleh saya tarik kesimpulan, sesungguhnya anak didik mengharapkan guru yang bisa masuk dalam dunia mereka. Juga, sesuai dengan pola pendidikan saat ini, mungkin mereka bisa diajak untuk lebih aktif di kelas, bukan hanya mempraktikkan teacher-centered, melainkan juga menerapkan student-centered.

Dalam mata kuliah Authentic Assessment yang disampaikan oleh Bapak Basuni, M.Pd, dosen di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung pada jenjang S1 silam, beliau menyampaikan bahwa bagaimanapun produk yang digarap oleh siswa, asalkan hasil kerjanya sendiri, jangan lupa memberikan pujian, misalnya bagus sekali, luar biasa, dan lainnya. Selanjutnya, baru memberikan kritik yang fungsinya membangun. Kemudian, diakhiri dengan pujian kembali. Tipe kritikan seperti itu adalah sandwich type, yang mana lapisan paling atas dan bawah berisi pujian dan kritik yang dimaksudkan ada pada lapisan tengah. Tidak serta merta kita memberikan kritik tanpa membangun dan malah menjatuhkan. Sebab mental anak sangat bervariatif. Ketika langsung memberikan kritik kepada anak yang memiliki mental kuat, mungkin bisa diterima. Namun ketika berhadapan dengan anak yang mentalnya belum stabil, bisa membuat rasa percaya diri mereka semakin lemah dan akhirnya menyerah. Tentu seorang guru tidak menginginkan hal tersebut terjadi kepada anak didiknya.

Mungkin memang tampak melelahkan ketika kita mencermati betapa berat tugas seorang guru. Namun sejatinya, kita sedang menanamkan ilmu kepada anak didik. Menjadi guru inspiratif memang membutuhkan effort yang lebih. Akan tetapi, usaha-usaha dan segala yang kita upayakan untuk anak didik akan berdampak kepada masa depan mereka bahkan masa depan bangsa. Saya masih ingat nasihat Prof. Dr. Abad Badruzzaman, Lc, M.A, ketika mengikuti kuliah filsafat bersama kawan-kawan AFI di jenjang S2 kemarin, yakni, “Meski mungkin hanya sebutir pasir yang bisa kita berikan kepada proyek peradaban ini, itu lebih baik daripada tidak sama sekali.” Beliau mengajarkan kami untuk ikut berkontribusi pada pembangunan bangsa. Walaupun sedikit tidak masalah. Dan menjadi guru, saya rasa merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik untuk ikut berkontribusi dalam proyek peradaban tersebut.

Tulungagung, 30 Oktober 2022

Comments

  1. Trimakasih pencerahannya Bu Guru... Mantap....

    ReplyDelete
    Replies
    1. MasyaAllah terima kasih atas apresiasinya, Pak Badi... Mohon bimbingan selalu...

      Delete
    2. Sami Sami, kulo juga harus lebih banyak belajar.... Semoga yg kita torehkan bermanfaat.. Aamiin..

      Delete
    3. Amin amin ya Rabbal alamin...
      Matur nuwun sanget Pak Kamad inspiratif 👍🏻👍🏻👍🏻

      Delete
  2. Tulisan yang sangat bagus mbak Ekka. Mengalir dan sangat menggugah kesadaran kita para pendidik. Luar biasa 👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih berkenan mengunjungi catatan sederhana ini Pak Ketua. Saya banyak belajar dari Bapak Agung yang sangat inspiratif. 👍🏻👍🏻👍🏻

      Delete

Post a Comment