AKU MENCINTAIMU, MAS
Malam sudah larut. Jam digital
laptopku menunjuk di angka 22.08 WIB. Aku pun sudah berpamitan kepada suamiku
tercinta, untuk tidur. Sebab beliau tentu sangat mengkhawatirkan keadaanku yang
jauh, dan keadaan bayi kami, yang masih meringkuk di dalam janinku. Sebentar
lagi memang ia akan lahir. Sebab usia kandunganku sudah memasuki bulan ke
sembilan. Dan sejak awal, suamiku selalu menjadi manajer hidup terbaikku,
termasuk jam tidur.
Lamat-lamat, aku terdiam.
Sebelum tidur, memang kusempatkan membuka salah satu buku yang duduk berbaris
di rak buku. Selesai membaca halaman awal Maryamah Karpov, dengan kisah
kematian ayahnya, Zamzami, dadaku terasa sesak. Buku itu kutaruh. Aku tidak
ingin membacanya. Sebab, aku langsung teringat kepada suamiku, ayah dari anakku,
kekasih tercinta dan sejatiku. Aku langsung teringat kepadanya, sosok lelaki
yang mencintaiku sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Sosok lelaki yang sangat
memahamiku, mengetahui watak dan karakterku, memahami apapun yang aku mau,
bahkan segala tentangku, yang kadang, terluput dari diriku sendiri. Apakah
beliau termasuk seorang yang kasyaf? Wallahu alam.
Selesai membuka buku itu, aku
langsung mematung. Dan terlahirlah catatan ini. Aku memang sedang membaca
beberapa buku, untuk menghabiskan waktu sebelum melahirkan dan membunuh sepi
serta rindu kepada suamiku. Salah satu yang kubaca adalah terjemahan karangan
Jalaludin Rumi, Fihi Ma Fihi. Dalam buku yang kubaca, Rumi mengajak untuk terus
meleburkan diri dalam keabadian, dan melunturkan fana. Dunia adalah kefanaan.
Semua yang tampak di mata adalah fitnah, begitu tafsiran beliau dalam salah
satu ayat. Dan, apakah cintaku yang sangat membuncah kepada suamiku merupakan
fitnah? Rasa memiliki, rasa rindu dan rasa ingin selalu bersama adalah ujian?
Aku merinding memikirkannya. Sepertinya ilmuku memang belum sampai pada tahap
ini. Aku ingin kembali merevisi semuanya. Aku takut, jika Allah murka.
Allah. Tiada Ilah kecuali Ia.
Alhamdulillah, puji syukur kupanjatkan, karena di balik badai yang menghancurkan
diriku, Allah benar-benar telah menyiapkan suamiku sebagai pengganti yang
paling baik dari yang terbaik. Kehidupanku saat ini benar-benar baik. Semuanya
diberi kecukupan. Bahkan, hatiku bersimbah bunga-bunga kebahagiaan. Rasanya,
setiap detik, menit, jam dan hari aku selalu jatuh cinta kepada suamiku.
Rasanya, aku tidak pernah berhenti memikirkannya barang sedetikpun. Rasanya,
dunia ini seakan hendak luntur dan luruh tatkala aku mendengar kabar kurang
baik darinya, kabar beliau sakit. Rasanya, aku selalu memiliki energi untuk
terus berjuang, untuk terus bernapas, untuk terus memberdaya karena support dan
perhatian dari beliau yang tidak pernah padam. Rasanya, aku begitu dicintai,
dimanja, didekap setiap saat. Aku memang pernah merasakan cinta yang dahsyat,
namun cinta pilihanNya ini, sungguh aku tidak pernah membayangkan sedahsyat ini
pengganti atas apa yang telah diambilNya kembali dariku.
Lubuk hatiku terdalam terus
kuasah, agar senantiasa mengingat-ingat sesuatu yang fana. Dunia ini tempat semua
manusia diuji. Diuji karena memang agar manusia ingat, jika mereka tidak betah
dalam hidup, rumah mereka bukan di sini. Akan sangat berbahaya jika semua hal
berjalan baik-baik saja, tanpa ujian, tanpa pengingat, dan kebahagiaan terus
menyapa. Manusia akan enggan untuk kembali kepada Sang Pemilik segala. Manusia
akan berat dan tidak ikhlas dalam melepaskan segala yang fana demi Ia.
Ah, air mataku meluruh,
menyembul dari ujung mata. Aku benar-benar mencintai keluargaku. Aku mencintai
suamiku, mencintai buah hatiku, kedua orang tuaku, adik-adikku, bahkan
guru-guru, sahabat-sahabatku, juga kerabatku. Aku ingin menjadi seorang pecinta
yang terus mabuk kepada apa yang dicintainya. Aku ingin menggapai derajat itu,
agar tidak ada jarak antara aku kepada yang kucinta. Sebab sepahamku, di
manapun mata memandang, yang kulihat adalah wajah kekasih. Di manapun jantungku
berdetak, yang kulihat adalah senyuman kekasihku. Di manapun aku merindu, yang
kutahu, aku sedang memeluk dan mendekap kekasihku. Seorang kekasih tidak akan
pernah terpisah dari kekasihnya. Bahkan kematian bukanlah pemisah dari
keduanya. Yang memisahkan adalah seberapa dalam iman mereka kepada Tuhannya.
Jurang paling dalam adalah itu, iman.
Aku paham, aku bukan seorang
perempuan yang masuk dalam kategori saleha. Jauh. Aku pun juga bukan hamba yang
baik, karena lebih sering melupakan Rabbnya dibanding dengan mengingatNya, Zat
yang tidak pernah melupakanku. Maka, si daif ini, adakah yang bisa ia lakukan
selain meminta, meminta, meminta dan terus bermunajat, agar bisa dipersatukan
dengan orang-orang pilihanNya di surgaNya kelak? Aku paham, permintaanku memang
tidak tahu diri. Namun kepada siapa lagi aku meminta itu? Dan siapa lagi Zat
yang Maharahim selain Dia?
Sesungguhnya, di manapun aku
berada, aku menginjak surga, selama wajah kekasihku masih tergambar jelas di
pelupuk mata. Sesungguhnya, di manapun aku memijak, aku berada di surga, selama
aku terus mendekap kekasihku dalam doa. Memang, saat ini, jarak dan waktu
menjadi pemisah raga kami. Namun apakah hakikatnya juga demikian? Apakah pernah
jiwa kita terpisah, sedangkan hati kami adalah satu? Tidak. Tidak akan pernah
demikian. Karena aku mencintai suamiku, sebab Ia. Aku berjumpa dengannya ketika
aku benar-benar menaruh kepasrahan selepas ikhtiar yang membuatku terlunta dan
terluka. Aku harus terus mengingatkan diriku tentang ini. Bahwa aku sangat
mencintai suamiku, demi rida dan cinta Rabbku kepadaku. Dan Dia pun
mengirimkannya, bukankah sebab Dia mencintaku?
Lelaki sederhana itu memang
pilihanNya yang paling tepat untukku. Meski memang, kami tidak hidup dalam
gelimpangan materi, kami tetap bisa bertahan. Meski kami hidup dalam hinaan dan
cacian, olok-olok karena materi dan kehormatan, kami tetap bisa tersenyum,
saling menggenggam hati, dan terus menertawakan dunia yang fana ini. Meski
memang, kami hidup dalam keterbatasan dan ketidaksempurnaan, kebahagiaan kami
benar-benar sempurna. Allah memberikan semua nikmatNya kepada kami. Kami
diberikan tempat tinggal. Kami diberi pekerjaan sebagai penyambung nafkah. Kami
diberi kesehatan. Kami diberi kesempurnaan fisik. Kami diberi buah hati sebagai
pelengkap hidup dan sebagai cahaya mata kami. Dengan terus bersyukur, seperti
ajaran yang selalu diingatkan oleh suamiku, biiznillah, hati kami diliputi
kebahagaiaan, dan rasanya, itu sudah cukup.
Namun ternyata belum. Semua itu
belum. Orientasi yang menjadi garis merah dalam hidup, seharusnya terus kuurai
dan kucari ujung serta pangkalnya. Aku hidup dan dihidupkan oleh Siapa? Apa
tujuan Sang Pencipta menciptakanku? Siapa yang mendatangkan kami di dunia ini? Kepada
siapa aku dan orang-orang yang kucinta akan kembali? Apa yang kami tinggalkan
dalam hidup, ketika maut telah menjemput? Siapa pemilik kami yang sebenarnya?
Siapa Yang Mahakuasa terhadap kami? Siapa yang merencakan sebaik-baik rencana
kepada kami? Pertanyaan-pertanyaan itu harus selalu kuingat. Sebab waktu selalu
berlari. Dan kehidupan yang fana ini akan terus berlanjut, tanpa henti, kecuali
Sang Pemilik Waktu menghentikan waktu milikNya. Dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
itulah, yang akan mengantarkanku, suamiku, buah hatiku, keluargaku, serta semua
orang yang kucinta, kepada sebaik-baiknya cinta dan kebahagiaan. Tidak ada lagi
kefanaan, yang ada adalah keabadian.
Adakah seorang kekasih enggan
menjumpai Kekasihnya? Adakah yang lebih berharga bagi seorang pecinta selain
melihat dan memeluk Kekasihnya? Mencintai memang indah, namun indah itu satu
rasa dengan perih, dan dalam rumus matematika, besarnya cinta yang kita miliki
akan berbanding lurus dengan besar perih yang akan menyayat hati. Namun,
bukankah seorang pecinta tidak akan peduli, bahkan jika dirinya bersimbah darah
sekalipun? Asalkan ia bisa memastikan, bahwa kekasihnya baik-baik saja. Bahwa
kekasihnya bahagia. Bahwa kekasihnya bisa tersenyum, tidak merasakan sakit,
maka segalanya sangatlah cukup. Dan, adakah Sosok Pecinta yang bisa melebihi-Nya?
Comments
Post a Comment