Salam Kebahagiaan
Menjadi ibu memang benar-benar luar biasa. Seorang ibu sepertinya memang
dicetak agar terbiasa rela, ikhlas, menerima dan legowo terhadap segala
keadaan. Jika saya menggunakan kata berkorban, saya takut ada rasa keterpaksaan
dalam melaksanakan tugas sebagai seorang ibu. Sebab, sejatinya, jika seseorang
mencintai sesuatu, segala hal akan rela dilakukan demi ia yang dicintainya. Ia tidak
merasa berkorban. Sebaliknya, bagi seorang pecinta, memberi hidupnya untuk yang
ia cintai adalah sebuah anugerah. Memang segila itu cinta. Dan menjadi ibu
adalah seperti itu, demi cinta dan keutuhan rumah tangga, maka hati dan
sikapnya akan terus terdidik untuk rela serta menerima, mau melakukan apa saja
untuk merawat kekasih-kekasihnya.
Malam ini adalah salah satu malam ke sekian, saya yang merupakan seorang
ibu terbangun, memasakkan si buah hati cantik untuk makannya pagi nanti. Saya
bersyukur, oleh suami dibelikan Slow
Cooker sebagai pembantu memasakkan makanan si kecil. Meski bahan-bahan
memang harus disediakan, saya cukup sangat terbantu karena kepraktisan dalam
penggunaannya. Akan tetapi, walaupun terlihat praktis, menyiapkan bahan,
mencuci beras, menumis bawang-bawangan, serta menumis sumber protein hewani
yang akan dimasukkan dalam makanan si kecil bukan perkara langsung jadi. Semua butuh
sabar, dilakukan dengan sabar, dan semata-mata, demi meraih cinta serta rahmat
Allah Swt.
Karena suami sudah pulang, dan si kecil sudah sangat pulas tidurnya, maka
catatan ini mampu terlahir. Sehari-hari, waktu saya habis untuk menemani Zoya
tumbuh dan berkembang, dengan menyiapkan mandi paginya, sarapan paginya,
camilan buah siang harinya, dan mandi sorenya. Mulanya, semua terasa berat,
sangat berat. Terlebih tatkala masih serumah dengan mertua, atau orang tua. Walaupun
memang terbantu mengajak Zoya bermain, sangat terbantu, tetap ada rasa lelah
yang menjalar, sebab harus merawat yang lain. Sedangkan badan butuh istirahat,
sebab seharian beraktivitas.
Alhamdulillahnya, hari Selasa kemarin, waktu untuk pulang tiba. Kami pulang
di rumah kami sendiri, rumah mas, saya dan Zoya. Meski memang tinggal seorang
diri sangat sulit di awalnya, sebab begitu lelah dan semuanya dikerjakan
sendiri, belum lagi rindu kepada orang tua, kepada saudara dan keluarga
menjalar, namun titik kebahagiaan tidak pernah mampu tersembunyi. Melihat raut
sumringah mas suami, yang sudah bisa kembali berkumpul dengan istri dan
putrinya, membuat saya juga ikut bahagia, dengan keadaan ini. Segalanya memang
butuh adaptasi. Dan sebagaimana ungkapan Stephan Hawking, bahwa intelligence is the ability to adapt to
change. Kami harus survive demi
mendapatkan kemandirian dan kebahagiaan.
Hal lain yang saya syukuri adalah tatkala saat ini saya sudah berada pada
titik menerima, menerima segala titah yang ditakdirkan Allah kepada saya,
menerima terhadap segala peran, dan menikmati serta memaksimalkan peran itu
sebaik mungkin. Jika kemarin-kemarin sangat berat menjalani hidup seperti ini,
sebab haluan benar-benar berputar 180 derajat, dan karena saya tidak memiliki
pilihan, sebab faktor x, y dan z yang memengaruhinya, maka saya biiznillah,
dengan izin Allah, hati ini sudah kembali ikhlas dan tersenyum, sebab yakin,
bahwa Allah tidak mungkin menzalimi hamba-Nya, dan bahwa Allah merencanakan apa
yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Memang, ketika menjadi ibu
rumah tangga, selepas tujuan karier yang begitu menggebu bukanlah hal yang
mudah. Namun sejatinya, kembali saya bertanya kepada diri saya sendiri,
sebenarnya apa yang saya cari? Apakah pangkat? Apakah ingin di-wah oleh
manusia? Ataukan kebahagiaan dan rida Tuhan? Jika jawaban itu adalah rida
Tuhan, maka mungkin, ladang ini adalah ladang terbaik untuk mendapatkan
rida-Nya. Mengajar memang hal yang mulia, namun seseungguhnya memerankan diri
menjadi seorang ibu juga hal yang tak kalah mulianya, bahkan sangat mulia. Lantas,
apa lagi yang hendak dicari?
Ah, hidup, banyak sekali renungan-renungan jika kita mau bertafakkur
kepada-Nya. Bukankah kita semua hidup di sini hanya sementara? Dan ketika
melihat senyum bahagia keluarga sudah cukup, maka biarlah ia sedemikian saja. Air,
jika cukup segelas untuk minum, lantas untuk apa mendambakan air sewaduk yang
mungkin malah menenggelamkan? Semoga hati ini senantiasa mendapatkan cahaya-Nya
untuk selalu berhusnuzan kepada segala ketetapan-Nya. Kita tidak pernah tahu,
apa yang ada di balik rencana Allah. Sangat mudah bagi Allah memungkinkan
sesuatu yang tampak mustahil bagi manusia.
Selamat menjalankan peran masing-masing. Semoga rida dan cinta Allah
senantiasa tercurah kepada kita semua. Amin.
Tulungagung, 18 Oktober 2021
Luarbiasa mbk....
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung, Mas Alif
Delete