Hening



Rasanya sudah berapa purnama aku habiskan untuk istirahat, tidak melakukan aktivitas yang produktif, bahkan hanya berbaring, mendengar musik, vlog dan video-video lain yang tidak membutuhkan banyak energi. Beberapa buku sempat dibaca, untuk terus menyehatkan pikiran yang sudah lama hening, tidak diajak berproses. Namun, ketika mata dan kepala mulai berkunang-kunang, seketika aktivitas itu terhenti. Jika dahulu, mungkin aku biasa selalu mengisi daftar hadir dalam story WA, sehari bahkan bisa beberapa kali. Namun kali ini, hening. Tidak ada yang ingin kubagi. Hanya hening. Aku menikmati fase hening ini. Bersama orang-orang terdekat, yang benar-benar mencintaiku dengan tulus, tanpa karena. 

Di samping suamiku yang sedang tidur, sebab semalam bekerja, dan pagi tadi sekitar pukul 5.30 WIB beliau sempat mencarikan ikan Salem, untuk kumasak suwir kemangi, kini aku ikut berbaring. Sebelum itu, aku sudah menemani ibu yang sedang berdinas di ruang kantornya, dapur. Dapur adalah tempat di mana aku bisa membaui aneka bebauan, dan itu bisa membuat perutku perih, seperti dililit dan diremas-remas. Aku malu, benar-benar malu kepada ibu mertuaku. Beliau sudah memasak sejak pukul 3.00 pagi dan keadaan dapur yang belum bersih, aku belum bisa membantu beliau banyak. Walaupun sedikit, sangat sedikit membantu, itu pun aku mengerjakannya dengan nggremet, benar-benar pelan. Alhamdulillahnya, ibu benar-benar memahami keadaan putrinya. Aku diminta untuk segera berbaring dan istirahat kembali. 

Melihat kebaikan ibu yang membuatku haru, aku bingung. Ketika mata menatap tumpukan baju bersih dan kering, segera aku duduk di kursi dan melipatnya. Itu pun sangat pelan. Ibu berterima kasih sebab aku membantu seperti itu. Aku malu ketika ibu mengucapkan terima kasih. Ibu menganggapku bukan sebagai anak menantu, melainkan putrinya sendiri. 

Selesai melipat baju, perutku benar-benar perih. Biasanya, pagi hari aku memang mengonsumsi biskuit manis dan teh hangat. Ini tadi aku hanya minum susu kotak dari kulkas. Perut belum terisi yang manis, dan ikan suwir yang kumasak memiliki rasa sedikit pedas dan sangat sedikit asam. Aku pun memutuskan untuk tidak makan nasi terlebih dahulu. Selain itu, memang aku masih memiliki sensasi eneg sebab memasak makanan. Dan jarang aku memakan apa yang kumasak. Maunya, dimasakkan ibu, atau kadang suami. Untuk permasalahan ini, mungkin aku harus makan biskuit manis agar tidak semakin perih perutku. 

Tiba di kamar, aku mencoba memakan sebuah biskuit dan minum air mineral sebotol. Alhamdulillah, aku memang suka air putih. Sehari bisa 8 gelas, kadang lebih. Hal itu memang sesuai standar, terlebih, untuk membuat air ketuban di dalam rahimku bisa baik. Agar anak kami baik-baik saja di sana.

Perut semakin melilit. Aku terdiam, pasrah. Makan biskuit sudah. Air putih sudah. Jika berdiri terlalu lama, sepertinya aku pusing. Pagi ini belum bisa membuat teh hangat untukku sendiri. Dalam keadaan seperti ini, rasanya pikiran melayang ke mana-mana. Terlebih ketika menatap suamiku, yang sedang tertidur. 

Apakah aku akan memiliki umur panjang? Apa aku kelak bisa mendidik anak-anakku dengan tanganku sendiri? Apa aku bisa menemani suamiku hingga masa senjanya? Apa aku bisa berganti merawat ibu dan bapak Tulungagung, juga Blitar?

Air mata, tentu menganak pinak, mengalir, menetes di pipi. Hidupku, matiku, seluruhnya, kupasrahkan kepada Tuhanku. Aku tidak pernah meminta untuk hidup. Pun kelak, Allah juga sudah menjanjikan bahwa tiap-tiap yang bernyawa, pasti akan mati. Aku pasti merasakan kematian. 

Mungkin karena dampak sakit ini, pikiranku ke mana-mana. Aku lemah dalam masa hamil muda ini, sebab aku memiliki maag. Asam lambung naik, ditambah tidak mau makan, akhirnya berdampak dalam seluruh aktivitas serta kesehatanku. 

Tapi, apakah aku akan menyerah? Tidak. Ada bayi mungil yang sedang kuperjuangkan, meringkuk di dalam rahimku. Segala nasihat suami dan ibu, selama itu bisa memulihkan tenaga dan kesehatanku, akan aku lakukan. Aku masih ingat betul, bagaimana lincahnya si kecil, bergerak-gerak di ruang rahimku, benar-benar membuatku takjub kepadaNya, dan aku bersyukur, ia tumbuh di dalam rahimku. Amanah dari Allah. Aku harus berjuang, untuknya, untuk suamiku tercinta, dan seluruh keluargaku. 

Kuanggap, dengan rasa sakit ini, Allah berkenan untuk menggugurkan dosa-dosaku. Aku memang pendosa. Tapi aku juga tidak lelah merajut doa. 

Seperti ungkapan sang pujangga, Husein Widiya, yakni, separuh Tuhan, separuh hamba. Separuh nafsu, separuh cinta. Perajut dosa, perajut doa. Begitu seterusnya. 


Tulungagung, 13 September 2020


Comments

  1. Tetap produktif, top mbak.

    Mudah"an senantiasa dilancarkan untuk semuanya dan dalam perlindungan Allah SWT.
    Amiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe. Bingung mau bercerita ke siapa Mas Alfin. Pada akhirnya, kata dan tulisan adalah pendengar terbaik untuk mengungkapkan jeritan-jeritan hati.

      Amin ya Allah. Terima kasih jazakkallah untuk doanya. Semoga kebaikannya berlimpah untuk Mas Alfin sekeluarga juga. Amin.

      Delete
  2. Sehat-sehat ya Nak yang di dalam. Kamu adalah semangat Bunda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin amin amin. Makasih ya Aunty Anis tercinta, tersayang. 💕💕💕🥰 Mohon doanya, Aunty.

      Delete
  3. Ayoooo terus semangat jangan ikuti perasaan, tapi kesehatan ibu dan bayinya jauh lebih penting, masa-masa seperti ini memang masa yg paling rawan sekaligus paling tidak mengenakkan tapi harus selalu ditanamkan pada diri sang anak bahwa kamu harus kuat nak, kamu harus belajar dan berproses untuk dapat beradaptasi dg lingkungan

    ReplyDelete
  4. Nikmati semua proses. Jangankan jenengan mbak, saya pun demikian. Dulu ketika melihat istri hamil rasa tidak nyaman begini begitu pun, saya serasa ikut merasakannya. Tapi itulah proses luar biasa. Walaupun saya juga harus menepi dalam berbagai aktivitas. Termasuk menulis. Apalagi mendekati persalinan, sampai lahiran bahkan sampai detik ini. Tapi walau harus tertatih tetap berusaha menulis hehe. Kelak anak itu biar tahu kalau kita pernah mengabadi dalam buaian aksara. Hehe

    ReplyDelete

Post a Comment