Balada Menjadi Istri dan Menantu

Satu kata yang ingin saya gunakan untuk memulai catatan kali ini. Melelahkan. Itulah yang saat ini sedang saya rasakan. Saya tidak sedang mengeluh. Karena mengeluh memiliki perbedaan dengan sebuah ujaran berita. Selain karena sambat tidak memiliki manfaat apapun, malah membuat diri semakin lelah, dan meski saya termasuk orang yang suka sambat kepada suami, namun saya berusaha untuk mengurangi intensitas sambat, kepada siapapun. Sebab di luar sana, mau tidak mau, banyak yang lebih menderita dibanding dengan saya saat ini.

Hidup ini mengasyikkan. Itulah sekiranya yang dapat saya simpulkan. Mengapa tidak? Sebab, kita tentu memiliki tujuan dalam hidup ini. Tuhan tentu saja menciptakan segala sesuatu dengan pertimbangan yang tepat, terbaik dan melalui takaran yang pas. Jika saja saat ini saya berada di fase ini, sebuah fase menjadi mantu tercinta ibuk dan bapak, istri dari seorang lelaki yang kesehariannya bekerja banting tulang menjaga warung kopi, dan ibuk yang menjadi ahli masak di kampung, serta beliau menjual nasi, yang hampir setiap saat dapur beliau selalu mengepulkan aroma masakan dan bunyi-bunyian masakan, maka inipun tidak lepas dari rencana-Nya. 

Awal mula menjadi mantu ibuk, tinggal serumah dengan beliau yang tidak pernah diam, selalu melakukan mobilitas memasak dan repot di dapur, entah menggoreng tempe, tahu, menyangrai kopi, membuat es batu, es lilin, es jus, mendapatkan pesanan masakan, dan sebagainya dan lain-lain, tentu saja saya merasakan shock culture. Shock karena kerepotan di rumah Blitar sebelumnya tidak seperti ini. Shock karena saya tidak bisa mengatakan kata tidak, seperti ketika di rumah Blitar. Shock karena meski badan lelah remuk redam, saya tetap harus bergerak melakukannya. Alhasil, awal mula pernikahan menyisihkan air mata yang deras, baik di dalam hati dan di pipi itu sendiri. 

Jika boleh beralasan, maka setelah seharian dan hari selanjutnya, fisik ditempa sedemikian rupa, malamnya menemani mas suami menjaga warung yang sering baru off dan tutup sampai lewat tengah malam, bahkan pernah sampai hampir subuh, saya tidak kuat. Saya melampiaskan semuanya dengan kemrengutan yang sangat jelas ditampak-tampakkan di depan Mas suami. Mas suami tentu saja bingung. Apa yang sudah beliau lakukan terhadap saya sehingga saya bertindak seperti itu? Mas bertanya ketika saya sedang berada di puncak emosi, menangis tergugu. Tentu saja saya sedang tidak bisa berkata-kata. Namun setelah reda, semuanya rampung, saya pun mengajak si Mas untuk berdialog. Semua uneg-uneg saya keluarkan. Mas tampak menyimak dan mendengarkan. Beliau pun, dengan sangat sabar menjabarkan alasan-alasan mengapa ibuk seperti itu. Saya masih kekeuh dan ngotot dengan penuh penghayatan menyatakan bahwa saya yang benar. Ibuk sering mendesak psikis dan batin saya sehingga menyebabkan saya kehilangan diri sendiri dan sebuah rasa bahagia. Dengan penuh kesabaran, Mas pun mengatakan. 

Mana mungkin ibuk rela memberikan rumah jika dinominalkan bernilai tinggi jika ibu tidak sayang kepada saya? Mana mungkin ibuk rela memberikan pekerjaan yang ringan dibanding dengan pekerjaan beliau ketika sedang di dapur, padahal beliau telah renta? Beliau pun rela, rida jika makan masih ditanggung beliau, sebab keadaan pagebluk yang tak kunjung reda. Apakah itu semua dilakukan atas dasar tidak sayang? 

Saya mulai merenungi pernyataan Mas, dan bermonolog. Bukankah semua ini pun tertulis dengan pena-Nya? Mengapa untuk rida, ikhlas, sabar dan syukur begitu sulit? Saya tergugu dengan semua yang hadir dalam hidup saya. Kekacauan mulai menjamah. Impian dan cita-cita seakan tidak tersentuh, lantaran fisik yang terlanjur capai, fisik yang amat lelah dengan kegiatan fisik yang sebelumnya tidak saya lakukan. Namun, apakah seperti itu kesimpulan yang sebenarnya? Bukankah tidak ada akhir yang menyedihkan bagi hamba-hamba yang rida terhadap ketentuan-Nya? 

Setelah mencoba menganalisis diri saya sendiri, saya pun mafhum. Mengapa semua tekanan seakan terasa begitu menghimpit? Sepertinya saya belum bisa berdamai dengan keadaan. Saya belum berdamai dengan diri saya sendiri. Apakah saya yang dahulu selalu memilih tantangan, sekarang menyerah begitu saja dengan fase hidup yang membawa saya di sini? Saya tidak ingin menyerah terhadap apapun. Saya ingin mengais-ngais birrul walidain dari beliau berdua. Bukankah bagi seorang anak, amat sangat menyenangkan jika masih ditunggu oleh kedua orang tuanya? Dan terakhir, bukankah rida terhadap ketentuan-Nya adalah sebaik-baiknya nikmat bagi seorang hamba? 

Maka, dengan ini, meski guntur dan badai sering mengelabuhi untuk mengeluh dan membangkang, semoga catatan ini menyadarkan kembali kepada saya, bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa izin-Nya. Jika memang saya mengharapkan memiliki sisa usia yang bermanfaat, dan saat ini masih belum memasuki instansi yang menyibukkan dan membuka peluang untuk menyebarkan manfaat, bukankah menyenangkan kedua mertua adalah hal yang penuh manfaat? Bukankah baginda Nabi Saw selalu memberikan teladan untuk menyebarkan kasih sayang, apalagi kepada kedua orang tua? 

Allah Karim. Tanpa daya, kekuatan dan izin-Nya, tentu saya tidak mungkin dapat terlepas dari belenggu ini, belenggu negative thought. Dan semoga, diri yang papa ini mampu menjadi hamba yang selalu happy dalam pandangan-Nya. Gus Baha pernah menyampaikan, bahwa ciri wali adalah selalu tampak bahagia, bagaimanapun keadaannya. Meski tentu saja jauh dari ciri tersebut, semoga mutiara indah itu mampu menjadi dasar untuk selalu mensyukuri seluruh nikmat-Nya. Apalagi nikmat memiliki suami yang sangat penyayang, sabar, penuh lemah lembut, dan pekerja keras, selalu berusaha menghadirkan kebahagiaan di dalam diri saya.

Tulungagung, 2 April 2020

Comments