Laa Tahzan, Selalu Ada Allah Tempat Kita Berharap




Kesedihan akan sirna. Duka akan terlewat. Senyuman akan hadir, menghias bibir. Hati akan menemui titik bahagianya, selama Allah adalah sandarannya.

Memang tidak mudah mengobati hati yang gundah. Namun, jika iman telah melekat di dalam kalbu seorang Mukmin, maka tidak ada lagi kemustahilan baginya. Sebab, Pemilik Semesta sedang bersamanya. Bukankah Laa haula wa laa quwwata illa billah? 'Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah semata.' Seluruh harapan dan kebaikan akan terus diyakini oleh seorang mukmin bahwa apapun yang hadir menyapanya, selepas usaha segenap jiwa telah dilakukan, maka hasil akhir adalah pilihan-pilihan Sang Kekasih untuknya. Pilihan terbaik dari yang paling baik.

Bukankah kita tidak pernah tahu apa yang direncanakan oleh Allah? Sebagaimana nasihat indah yang disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib kh.w., bisa jadi kita kelak akan terpana dengan apa yang kita dapat, dan bahkan kesemua itu membuat kita lupa terhadap rasa sakit yang kini menyapa.

Maulana Jalaluddin Rumi menyampaikan dalam Fihi Ma Fihi, tidak sepatunya harapan luruh dan padam dari rahmat serta ampunan Allah Swt. Allah selalu memberikan ampunan, seburuk apapun kita di masa kini, di masa lalu. Allah Swt., selalu menunjukkan ar-Rahman dan ar-Rahim-Nya, tidak pilih-pilih kepada siapa Rabb hendak menurunkan rahmat-Nya. Bahkan kepada mereka yang tidak tahu terima kasih, Rabb masih terus menghujani dengan kinasih-Nya. Tidak sepatunya, kita sebagai manusia _dhaif_ menyerah dan menganggap bahwa titik terendah dalam hidup adalah finalisasi semuanya.

Selama napas masih belum sampai pada tenggorokan, selama itu pula, pintu harapan masih terus terbuka. Bukankah kita tentu tidak ingin mati sebelum benar-benar mati? Cara terbaik untuk menghadapi garis takdir yang ada, maka dengan terus bersyukur serta memohon kepada-Nya untuk diberikan kelapangan kepada hati yang sesak, memohon agar Sang Mahasabar berkenan membiaskan kemahaan-Nya kepada manusia-manusia. Sebab, tanpa izin-Nya, tentu manusia tidak akan pernah mampu bersabar. Jika mengaku sedemikian, beranikah jika menanggung semua ujian yang Rabb hadirkan? Yakin bisa bersabar tanpa-Nya.

Takdir kehidupan memang sering berjalan tidak sesuai dengan harapan. Namun, itulah kacamata manusia. Manusia selalu merasa lebih tahu apa yang hakikatnya terbaik untuk mereka. Padahal, Sang Mahatahu tentu lebih mengetahui apa-apa saja yang terbaik untuknya. Dia Mahatahu, sedang kita tidak. Siapa tahu, yang menurut kita baik, ternyata dalam mata-Nya tidak. Maka, memasrahkan seluruh langkah, mengharapkan semua hal hanya untuk-Nya adalah jalan terbaik. Terbaik untuk mendapatkan kelapangan, ketenangan, serta kedamaian dalam menghadapi kejutan-kejutan indah dari-Nya.

Harapan selalu ada. Selalu. Allah begitu menyayangi kita, hamba-Nya dengan kasih sayang yang tidak akan pernah keterbatasan akal kita mengukur ketidakterbatasan kinasih milik-Nya. Maka, masihkah lilin harapan terombang-ambing dan berada di ujung kematiannya? Jika iman terlah terketuk, maka tidak ada yang bisa menghalangi cahaya benderang untuk memancar.

Biarlah yang harus terjadi, terjadi. Memang begitulah guratan takdir yang sepatutnya. Sebesar apapun gelombang masalah, semua hal ihwal keduniawian datang menempa, maka di balik ujian itu, sebenarnya Allah menyiapkan kelas (derajat) lebih tinggi lagi di mata-Nya.

Manusia memang bukan tempat berharap. Bukankah Sayyidina Ali pernah menyampaikan, bahwa "Aku pernah mengalami semua kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia."

Wallahualam bishshawab
Semesta Cinta,
27 Juni 2019

Comments

  1. Alhamdulillaaaaah, semoga kita selalu diberi kasih sayang & kebahagiaan dunia dan akhirat oleh Alloh SWT.

    ReplyDelete

Post a Comment